Bukan Sekadar Perempuan

Dan malam datang lagi.
Sederhana saja menceritakannya,
aku pulang duduk di kursi meja makan karena Ibu masih sibuk di dapur.

Apa saja yang ia lakukan. 
Aku tahu bahwa ia melampiaskan ketegangan hidup.

Aku tak pernah merencanakan tentang apa yang harus dibicarakan dengannya.
Begitu saja, meski kadang harus berpura-pura aku tengah bahagia, dan lain-lain.

Ibu tak pernah mendengar cerita sedih dari mulutku. 
Bukan ia tak mau menyimak. 
Hanya saja aku tak akan menceritakannya betapa aku bimbang setelah menelan kehancuran.

Tak terasa sudah Jumat.
Sebelum tidur, Ibu memintaku memijat tubuhnya yang mengurus.
Aku ini anak yang tak pandai memerhatikan orang tua.
Aku pemalas yang selalu dilayani.

Ibu, kau tahu. 
Aku sedih.
Bukan karena Ayah jarang kutemui.

Aku hanya berpikir, wajar kah aku takut meminta izin kepadamu tentang masa depan?
Pernikahan, misalnya.

Suatu saat nanti apabila laki-laki yang kau setujui bukan untukku.
Namun, laki-laki itu terlalu sabar melihatku mengamuk, atau dia tidak gila menanyakan segala hal yang lalu.

Ibu, aku bukan sekadar perempuan.

Comments

Popular Posts