Copy Paste from Email [May, 4 2013]

Sat, May 4, 2013 at 6:00 PM ---18 Hari Dalam Bulanmu--- Kebiru-biruan langit. Burung berkicauan terdengar jelas di telinga. Jeritan asa membidik ruang-ruang tak berdosa. Kekuning-kuningan senja, andai kita yang setia kepada awan bisu milik Tuhan. Hujan kemarin membekas, aku menuliskan isi pada judul yang lama. Dua puluh empat jam yang tak pernah hilang meninggalkan segelas kopi di atas karpet merah kamar. Lampu yang terkadang menerangi lamunanku membuka buku di balik kacamata. Apa kabar kamu hari ini? Semalam mimpi kita tak sama. Permadani kita beda dan terpisah. Hasrat kita terkekang pagi, siang, sore, dan malam. Rindu tak berbatas. Aku tak selalu tidur dengan 'waktu' juga tidur denganmu. Tulisan di telapak tanganku melambai-lambai ke arah tepat di depan mata. Gemetar aku dibuatmu hingga tertunduk kala nafsu bertindak di Sabtu senang. Mereka menyebutnya kenangan buruk dan aku menganggapnya kamu. Setiap detik menjadi tak bermakna, ketika aku hanya membiarkan jemari ini tergeletak tak berdaya. Tanganku harus bernyawa, harus hidup, mesti mengatakan bahwa kamu luar biasa. Pagi bersuara keras. Hati kita punya perasaan. Tujuh hari rasanya masih kurang untuk tertawa, bernyanyi, dan saling mengusap tetesan airmata di pipi. Setiap hari dengan nyawa baru untuk hadapi cerita siang bolong dengan gelisahnya yang syahdu. Masa kita, masalah kita akan hidup. Walau bukan kamu satu-satunya yang kucintai. Aku mulai khawatir semua akan berlalu tanpa izin dan perdebatan. Sore mencuri lembaran tertulis tanpa materai. Burung berkicauan mulai diam. Enggan banyak bicara. Meskipun kita sering beragumentasi dengan hati tanpa saling mengetahui. Sepintas tersiar haru di bola mata kecil kita. Pernahkah kita sambut senja sambil berpelukan di ufuk Timur dalam peperangan cinta tanpa dusta yang menyiksa? Aku yang menuntun rasamu berpegangan. Malam tiba, tertembaklah bathin dalam belenggu. Bibir kita mulai rusak, lidah kelu tanpa gigitan. Hati kita tak boleh lebih dulu mati dari akal yang buntu. Segala angan pun tentram. Melayangku di ujung nestapa. Aku mampu menjadikanmu 'bulan' yang bulat pada tiga puluh hari rasa percaya diri. Diri yang berani dimusuhi ribuan mata dan telinga. Sadar bukan untuk kita lupa. Bukan itu. Hitungan jam inilah yang kuanggap paling mencemaskan. Kendati rumah baru tak 'kan ada di pelabuhan terakhir. Perahu kita ternyata sebatas alam pikir. Sayangnya, pukul enam harus terlewatkan sia-sia. ementara lautan tak 'kan goyah karena kita saling melupakan nanti. Siapa temanmu di kemudian hati? Dan hari kita tak lagi terpenjara dalam kenangan disini, tulisan ini. (tulisan ini disumbangkan untuk BSA)

Comments

Popular Posts