Pengamen A 70 dan Keinggrisan

"Memulai siang di dalam bis rute Tanah Abang [karena melewati Thamrin], bis ini yang dipilih! Tak biasa, tarifnya 10 ribu Rupiah [padahal biasanya 9 ribu Rupiah] entah mungkin alasannya BBM?"

Duduk didalam bis ber-AC ini terdengar suara pengamen beserta alunan gitar kopongnya membuka perjalanan dengan tembang "Ayah", lagu itu lagu sepanjang jaman yang masih merdu liriknya!

Teringat hari ini, tanggal 10 Mei! Saat orang-orang sedang gelisah tentang konser Morrissey nanti malam, aku sibuk berkhayal tentang pengamen jalanan yang betah di jalan! Apakah pengamen jalanan di Jakarta dapat mengalahi ketenaran Morrissey di Inggris? [mungkin kalau pengamen tersebut berjambul lebih tinggi dari Morrissey]

Kadang perih melihat keinggrisan orang-orang di luar sana tentang puja-puji mereka terhadap musik dari luar, walau kiblat musik seseorang (mungkin) menggambarkan nuansa hatinya atau malah membentuk ideologi? [kebanyakkan begitu]

Indonesia terlalu lama mengangguk pada budaya barat dan mereka bangga, entah sebesar apa itu gengsi?

Musik diam-diam menjadi racun, menusuk, menjahit, membungkam, menyatukan, memecahkan permasalahan melalui hembusan lirik yang berhalusinasi!

Pola pikir dari kepala negara? Jadi ingat, saat membaca sebuah artikel ketika era Orde Lama, Koes Plus ditangkap dan dipenjarakan karena memainkan lagu-lagu The Beatles di tahun 1965!

Akhirnya aku pikir era ini adalah era yang serba kebablasan!

Tak dapat bertukar, masa kini dengan masa lalu!
Perubahan harus ada,
tanpa meninggalkan catatan yang penting dari kesalahan di masa itu!

Putar balik ritme, atau menghantam terus?

Comments

Popular Posts